Melalui surat ini, perkenankan kami korban dan keluarga korban Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998 beserta Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan apresiasi atas keputusan Sidang Paripurna DPR RI yang telah menyetujui kesimpulan dan rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) tentang Penanganan Pembahasan Atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 †1998, pada 28 September 2009. Seperti yang kita ketahui bersama,
Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Komisi untuk Orang Hlang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mempertanyakan sikap Jaksa Agung dalam menindaklanjuti rekomendasai sidang Paripurna DPR tentang tindak lanjut Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa pada 28 September 2009.
Kami sejumlah koalisi masyarakat sipil mengucapkan selamat hari jadi kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ke 64 pada 5 Oktober 2009. Momentum hari jadi ini biasa diperingati oleh sejumlah kalangan di Indonesia, terutama oleh TNI. Selain diperingati pada hari jadinya, momentum ini juga penting untuk melakukan evaluasi eksistensi TNi dimasa transisi politik Indonesia dan terutama dalam menjelang bekerjanya Pemerintahan dan DPR baru hasil pemilu 2009.
Korban dan Keluarga Korban Penculikan dan Penghilangan Aktivis 1997-1998 serta Keluarga Korban Pelanggaran HAM lainnya bersama IKOHI, KONTRAS, SETARA, YLBHI, ELSAM dan kalangan masyarakat sipil lainnya memastikan akan mengawal rekomendasi ini hingga mampu mewujudkan keadilan bagi korban, keluarga korban, dan rasa keadilan masyarakat.
Melalui surat ini, perkenankan kami, orang tua korban, IKOHI dan KontraS, menyampaikan pandangan dan sekaligus mengetuk pintu hati Bapak/Ibu sehubungan dengan agenda sidang Paripurna pembahasan rekomendasi Pansus Orang Hilang DPR-RI pada hari ini (28 September 2009).
Peraturan Indonesia baru mengesahkan hukuman rajam hingga mati untuk praktek zina dan cambuk rotan hingga 100 cambukan untuk homoseksualitas harus dicabut sesegera mungkin, ungkap Amnesty International pada hari Kamis.
September tepat dikatakan sebagai bulan “air mataâ€, banyak kasus pelanggaran berat HAM baik di Indonesia maupun di Timor Timur (sekarang Timor Leste) terjadi pada bulan September, diantaranya adalah kekerasan yang terjadi dalam peristiwa Semanggi II, pada 23-24 September 1999, sekitar 11 orang meninggal dan 217 orang luka-luka akibat penembakan yang dilakukan aparat keamanan. Mereka yang menjadi korban adalah mahasiswa dan masyarakat yang menyuarakan penolakan terhadap rencana pemberlakuan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB 1999). korban tersebar di berbagi wilayah; Jakarta, Lampung, Palembang, Makassar dan Purwokerto. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2002) menyatakan telah terjadi dugaan pelanggaran berat HAM dalam kasus ini.
Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) menyampaikan sikap atas respon kejaksaan yang lambat dan setengah hati atas usaha PK (peninjauan kembali) putusan bebas Muchdi PR oleh PN Jakarta Selatan pasca putusan kasasi yang menyatakan N.O (Niet Ontvankelijk Verklaard) oleh Mahkamah Agung pada tanggal 15 Juni 2009 silam.
Melalui surat ini, perkenankan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan menyambut baik keputusan Panitia Khusus (Pansus) DPR RI tentang Penanganan Pembahasan Atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 †1998, pada 15 September 2009, yang menyampaikan rekomendasi sebagai berikut;
Kasus ini diawali dengan adanya demo damai yang di prakarsai oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Bahwa pada hari Jumat, tanggal 03 April 2009 jam 10.00 WIT terjadi Demo damai yang dihadiri oleh kurang lebih 100 (seratus) orang mereka melakukan demo damai dengan Rute melewati jalan jenderal Sudirman menuju jalan A. Gobay Karang Tumaritis selanjutnya menuju ke Jalan Merdeka dan berhenti di KPUD Nabire selanjutnya massa melakukan Orasi di depan kantor KPUD Nabire sampai jam 3.00 WIT dan mendapat pengawalan dari Aparat Kepolisian Resort Nabire, Demo tersebut bertujuan Menolak dilakukannya Pemilu Legislatif serta Pemilu Calon Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, menyatakan sikap tentang gagalnya otonomi khusus Papua dan Permintaan Referendum, mendukung peluncuran Internasional Lawyers For West Papua (ILWP) di Amerika Serikat pada tanggal 3 s/d 5 April 2009 dalam demonstarsi tersebut Sdr. Zeth Giay bertanggungjawab sebagai koordinator lapangan, masa Pendemo membawa Spanduk-spanduk, setelah Demo Damai sebagian masa pulang ke rumah masing dan sebagian lagi menuju ke Taman Gizi, pada tanggal 4 dan 5 April tidak ada aktifitas demo dilakukan tetapi sebagian masa berkumpul di taman Gizi dan terus mendapat pengawalan dan Pemantauan dari pihak Kepolisian, Para Terdakwa ditangkap pada tanggal 6 April 2009 oleh petugas keamanan Polres Nabire kemudian Para terdakwa dibawah ke Mapolres Nabire untuk dimintai keterangan selanjutnya mereka menjalani proses pemeriksaan dan di tahan oleh Polres Nabire.
Melalui surat ini, perkenankan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan menyambut baik keputusan Panitia Khusus (Pansus) DPR RI tentang Penanganan Pembahasan Atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 †1998, pada 15 September 2009, yang menyampaikan rekomendasi sebagai berikut;Â
Melaksanakan Syariat Islam bukanlah hal baru bagi masyarakat Aceh. Jauh sebelum Aceh diberi keistimewaan menjalankan Syariat Islam, masyarakat telah menerapkan nilai-nilai Syariat Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Karenanya, ketika Pemerintah Daerah Aceh membuat hukum positif berdasarkan Syariat Islam (seperti Qanun Hukum Jinayah dan Hukum Acara Jinayah), maka keterlibatan aktif seluruh komponen masyarakat Aceh adalah sebuah prasyarat. Sebagai daearah yang dijadikan model penerapan Syariat Islam di Indonesia, Pemerintah Aceh juga berkewajiban untuk melahirkan peraturan perundang-undangan (hukum) yang membangun citra Islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin, penuh kasih sayang, damaii dan berkeadilan.
Selama kurun waktu sepuluh tahun ini ketidaktertarikan komunitas internasional, serta usaha-usaha aktif dari pemerintah Indonesia dan Timor Leste telah menghalang-halangi prospek keadilan atas kejahatan-kejahatan HAM berat yang dilakukan selama Timor Timur masih menjadi bagian dari Indonesia. Dengan mengenyampingkan tuntutan dari rakyatnya sendiri, pemerintah Timor Leste dewasa ini terus melanjutkan pengabaian atas tuntutan bagi keadilan dan pengakhiran impunitas tersebut.
Hari ini adalah momentum yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya korban dan keluarga korban Tanjung Priok untuk kembali merefleksi sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi 25 tahun yang lalu tepatnya tanggal 12 September 1984. Tragedi ini melengkapi catatan kelam sejarah bangsa Indonesia setelah sebelumnya terjadi beberapa rangkaian kekerasan dalam tragedi 1965 †1966, peristiwa Malari 1974, penembakan misterius 1981 †1983 dan berbagai tragedi kemanusiaan lainnya yang terus mengisi katalog kekerasan di Indonesia. Hingga saat ini, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih menyisakan pekerjaan rumah yang belum selesai, berupa pemulihan hak para korban dan keluarga korban yang dibunuh, dihilangkan secara paksa, dirampas kemerdekaannya tanpa proses hukum, dirampas harta bendanya dan segala hak yang melekat dan dijamin oleh konstitusi kita.
Esok, 12 September 2009, tepat 25 tahun terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat di Tanjung Priok. Peristiwa ini menjadi bagian dari sejarah hitam bangsa ini. Puluhan orang tewas, disiksa dan menjalani peradilan yang tidak fair dengan tuduhan mengganggu jalannya pemerintahan pada tahun 1980an lalu. Peristiwa tersebut berdampak buruk bagi korban dan keluarganya. Mereka kehilangan pekerjaan, pendidikan bahkan memperoleh stigma negatif.