Jakarta, Kompas
Pemerintahan akan datang yang terbentuk berdasarkan hasil Pemilu 7 Juni 1999 harus dipahami sebagai pemerintahan sementara yang bertugas mengantarkan Indonesia kepada demokrasi yang sebenarnya. Selama lima tahun, pemerintahan baru ini harus melakukan hal yang direkomendasi banyak orang untuk bisa memperbaiki keadaan demokrasi di Indonesia, seperti amandemen UUD '45 serta menyiapkan pemilu yang lebih demokratis.
Hal itu disampaikan Cendekiawan Nurcholish Madjid, ketika menyampaikan pandangan-pandangannya sebelum deklarasi berdirinya Crisis Center, Jumat (7/5), di Jakarta.
Bersama sejumlah tokoh lainnya, antara lain Ahmad Sobary, Christine Hakim, Atmakusumah, Karlina Leksono, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Soetandyo Wignjosoebroto, MM Billah, Frans Magnis Suseno, Mudji Sutrisno, Tamrin Amal Tomagola, Nurcholish duduk dalam "Dewan Tokoh" Crisis Center. Lembaga Crisis Center ini dibentuk oleh Kontras, YLBHI dan parpol-parpol yang mempunyai kepedulian terhadap semakin merebaknya kekerasan, dan akan memusatkan diri pada pencegahan dan penyelesaian konflik-konflik antarparpol di Indonesia.
Nurcholish menjelaskan, kekerasan yang muncul akhir-akhir ini jelas merugikan dan melawan prinsip kemanusiaan."Di sini harus ada tindakan sengaja, tidak boleh dilepaskan kepada penyelesaian seadanya, seolah-olah biarkan saja dan nanti akan selesai sendiri. Kita harus intervensi, perlu penerangan-penerangan, misalnya kita introdusir istilah keadaban politik," ujarnya.
Menurut dia, kekerasan yang merebak akhir-akhir ini bisa dilihat sebagai suatu bentuk "mabuk merdeka" yang tidak dewasa, sebagai akibat dari meledaknya perasaan yang tersumbat selama 30 tahun di bawah tekanan rezim Soeharto.
Tiga gelombang
Meminjam istilah Alvin Tofler, Indonesia sekarang ini persis berada dalam tiga gelombang sekaligus. Sebagian besar dari kita masih berada di gelombang pertama, yaitu pertanian. Sebagian sudah mulai masuk ke gelombang kedua yaitu industri, dan sebagian kecil sudah masuk gelombang ketiga yaitu informatika.
"Waktu Alvin Tofler datang ke rumah saya bersama istrinya, menurut dia pergeseran dari gelombang satu ke gelombang lain bisa menimbulkan krisis yang dahsyat. Dia menggambarkan perang sipil di Amerika dulu adalah pertemuan antara gelombang pertama yaitu selatan dan gelombang kedua yaitu utara. Kita barangkali tidak akan mengalami pengalaman Amerika, namun krisisnya mengendap dalam tiap-tiap pribadi kita. Yaitu bahwa kita semuanya mengalami perubahan sosial yang cepat, sehingga kita semua mengalami gejala-gejala yang dalam psikologis disebut sebagai dislokasi, disorientasi, deprivasi relatif yang membuat kita
jengkel dan mudah menjadi radikal," jelas Nurcholish.
Oleh karena itulah, Nurcholish menegaskan, bangsa Indonesia harus berani mengakui bahwa sebagian dari kita masih berada di gelombang pertama, dan ini harus dihitung agar supaya mendapatkan gambaran lebih luas. Pluralitas itu adalah kenyataan di Indonesia, tetapi belum sampai pada pluralisme.
Menurut Nurcholish, pluralisme adalah suatu kesediaan secara sejati untuk terlibat dalam perbedaan tetapi masih dibingkai oleh keadaban. Oleh karena itulah pluralisme tidak sama dengan pluralitas.
"Indonesia itu pada kenyataannya pluralitas, tetapi apakah pluralis itu lain. Pluralis itu pandangan positif, suatu keadaban. Saya lihat mungkin karena tertekan dan terkungkung selama 30 tahun itu, yang muncul lebih dulu adalah tidak adanya keadaban politik itu. Perbedaan digarap dengan kekerasan dan berlaku hukum umum yang disebut pertengkaran keluarga. Pertengkaran kalau berlangsung di dalam keluarga lebih sengit dari pertengkaran lain, itulah contohnya PKB dan PPP, PDI. Ini terjadi di mana-mana," ungkapnya.
Sementara itu, dijelaskan Bambang Widjojanto dari YLBHI, Crisis Center atau Lembaga Rekonsiliasi dan Perdamaian (Lerai) akan mengambil peran sebagai mediator untuk menjembatani dialog-dialog antar-parpol selama dan setelah pemilu. Di samping itu, lembaga yang akan dikomando oleh Munir ini, juga akan membuat peringatan dini yang akan menjadi mekanisme preventif terjadinya konflik. (oki)