PENGANTAR REDAKSI
IBARAT roket, dalam waktu setahun namanya langsung dikenal jutaan orang penduduk Indonesia. Munir, nama yang singkat dan tidak biasa untuk umumnya orang Indonesia yang bernama panjang, kini menjadi sosok yang sulit dilepaskan dari soal kekerasan. Visi dan sikapnya yang tegas menolak segala bentuk kekerasan, menjadi air penyejuk di tengah "bara api" tindak kekerasan yang muncul di berbagai tempat di Indonesia belakangan ini.
Tidak mengherankan bila kiprah bapak muda kelahiran Malang, 8 Desember 1965-bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang resmi berdiri 21 April 1998-menghasilkan beberapa penghargaan, antara lain Suardi Tasrif dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Yap Thiam Hien dari Yayasan Studi Hak Asasi Manusia (Yapusham). Dalam kapasitas pribadi, suami dari Suciwati, yang juga pernah aktif membela hak-hak kaum buruh, dan ayah Soultan Alif Allende, yang baru berusia tiga bulan ini, dinobatkan sebagai Man of The Year 1998 versi majalah Ummat.
Ditinggal ayahnya sejak 1978, Munir sejak kecil telah akrab dengan kerja keras. Ketika anak-anak SD dan SMP lainnya membeli mainan dari toko, Munir membuat sendiri mobil-mobilan dari kayu. Bahannya diambil dari sebuah pabrik pembuat raket yang berada di belakang rumahnya di Malang, Jawa Timur.
"Kelas enam SD saya sudah bisa buat senapan peluru gotri, pakai pentil sepeda motor. Waktu itu tren di Batu, anak kecil-kecil sudah bisa buat senapan. Akhirnya polisi ngelarang seluruh penjual alat-alat sepeda untuk menjual pentil sepeda ke anak kecil, karena itu bakal jadi senapan," kenangnya.
Sebelum bergelut dengan persoalan hukum, tindak kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yang lulus tahun 1990 ini, juga pernah bekerja di perusahaan persewaan sound system. Perusahaan ini memberinya keterampilan menjadi juru servis perangkat elektronik. Dunia bisnis pun sudah lebih dulu digelutinya, dari membuat dan menjual antena UHF, menjual sepatu, sampai menjual parabola yang salah satunya dipasang di halaman gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta.
"Karena dasarku dari pedagang, ya pikirannya jadi pedagang. Obsesinya punya toko. Tetapi namanya pedagang kecil, ya obsesi punya tokonya juga toko kecil. Tetapi ketika SMA saya dengan sadar menyerahkan diri pada jurusan. Kalau tidak berhasil ke IPA, saya ingin ngambil hukum, kalau masuk IPA mau ke teknik. Pada waktu itu saya tidak punya pandangan sedikit pun tentang profesi hukum karena saya tidak pernah kenal satu pun sarjana hukum dalam hidup saya," ungkap pengacara yang masih bersepeda motor bebek itu.
Di bidang hukum, ia merintis kariernya dari volunteer LBH Surabaya sejak 1989, Ketua LBH Surabaya Pos Malang (1991), Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995), Direktur LBH Semarang (1996), dan Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996). Sebelum melejit lewat kasus penculikan sejumlah aktivis, Munir pun sudah tampil sebagai kuasa hukum keluarga Marsinah, kuasa hukum warga Nipah (Madura), kuasa hukum Sri Bintang Pamungkas, kuasa hukum Muchtar Pakpahan, dan masih banyak lagi perkara yang hampir semua berbau politis.
Pengalaman demi pengalaman menangani berbagai kasus itu, bukannya membuat Munir semakin yakin akan profesi kepengacaraan. Dia lebih memilih jadi aktivis. "Saya semakin tidak ingin jadi pengacara, termasuk di LBH ini pun. Menurut saya pengacara ini profesi yang ideal, tetapi tidak boleh orang hidup bergantung pada profesi ini. Kepelesetnya banyak," katanya.
Agaknya, karena itu pulalah, Munir bahagia saja hidup di rumah "petak" di kawasan Prumpung, Cipinang, Jakarta Timur. Dia tak punya ruang kerja. Ruang makan pun menyatu dengan ruang tamu dan ruang keluarga. Hiburannya hanyalah sebuah akuarium berukuran 1,5 meter kali 40 cm, tinggi 60 cm, yang didalamnya berisi ikan arwana perak.
Berikut perbincangan Kompas dengan Koordinator Badan Pekerja Kontras itu, seusai penobatan dirinya menjadi tokoh tahun ini versi Ummat
SEPANJANG tahun 1998, Anda sudah menerima berbagai penghargaan. Apa makna penghargaan-penghargaan yang Anda terima itu?
Sebetulnya itu lebih tuntutan orang dibanding sebuah penghargaan. Karena apa yang kami lakukan di Kontras itu boleh dikata masih baru. Penghargaan semacam itu saya kira terlalu besar. Ini lebih tuntutan orang. Kami juga tahu benar bahwa harapan orang menjadi begitu besar terhadap peran kami. Itu memang jadi beban. Tetapi saya agak menghibur diri, meskipun tuntutan orang begitu banyak, orang juga harus tahu bahwa saya orang yang terbatas. Tidak bisa selalu seperti apa yang diinginkan orang.
Apakah Anda membayangkan kerja Kontras akan menjadi seperti ini. Maksudnya ada militer yang diadili?
Tidak. Pada waktu itu bayangan kami malah Soeharto tidak turun-turun dan kami dilibas. Hitungan kami seperti itu. Akan tetapi kemudian kami senang setelah ada kejadian Mei (Soeharto turun karena aksi mahasiswa-Red). Sesudah itu semua ketegangan-bahwa kami akan
kena-langsung turun.
Melihat tuntutan masyarakat begitu besar, apa yang kira-kira akan diupayakan Kontras?
Pertama, sebetulnya baru minggu lalu Kontras merefleksikan kembali peran satu tahun dan merumuskan kembali apa yang harus dilakukan. Kesimpulannya, Kontras mengambil keputusan menjadi organisasi yang bersifat permanen dan secara bertahap akan diupayakan mandiri dari YLBHI maupun organisasi pembentuknya dulu. Targetnya satu tahun ke depan adalah proses pemandirian kelembagaan.
Kedua, kinerja organisasinya. Kami akan melibatkan lebih luas kelompok masyarakat, khususnya mereka yang berada di lingkaran kasus pelanggaran HAM. Kemarin organisasinya lebih berbentuk satuan aksi atau gugus tugas, yang sebetulnya tidak dipersiapkan untuk menata diri menjadi sebuah organisasi permanen, yang banyak menangani persoalan seperti sekarang. Sekarang kami mengubah dari satuan gugus tugas menjadi satuan organisasi yang lebih luas, tetapi tetap menggunakan prinsip volunteer. Tidak ada para pengurus, yang ada adalah koordinator para volunteer, dan para volunteer yang dibagi
dalam berbagai divisi.
Ketiga, Kontras akan mendorong terbentuknya keanggotaan Kontras di beberapa wilayah penting di Indonesia. Misalnya meneruskan ide-ide pembentukan Kontras di Aceh, Dili, Jayapura, ataupun Komisi Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Lampung di Lampung.
Memimpin organisasi seperti Kontras jelas tidak mudah, paling tidak modal awal harus ada keberanian dan siap berkorban. Komitmen di tubuh Kontras sendiri bagaimana, apa semua memang katakanlah sudah "siap mati"?
Kontras itu awalnya KIP HAM (Komite Independen Pemantau HAM), yang awalnya bekerja tak jauh seperti LBH, tetapi lebih banyak melakukan kampanye. Akhir Februari 1998 kami mulai rapat untuk membentuk organisasi yang idenya antikekerasan. Begitu keputusannya membentuk Kontras, separuh dari organisasi yang bergabung di KIP HAM mengundurkan diri karena tidak siap. Dari 16 organisasi menjadi delapan organisasi yang siap.
Ada dua alasan mengapa waktu itu banyak yang mundur. Mereka tidak siap vis a vis berhadapan langsung dengan aparat. Kedua, lembaga ini bisa menduplikasi pekerjaan masing-masing. Teman-teman yang menyiapkan diri itu setuju dengan ide Kontras semacam ini. Dengan pertimbangan itu, kemudian ada tarik ulur di dalam, misalnya ketika menghadapi minggu-minggu awal Mei, ada internal kontrol dari dalam yang menuntut kami untuk lebih melunak.
LEBIH ke pribadi Anda, orang banyak bertanya bagaimana Anda bisa seberani ini, sepertinya tidak ada beban apa-apa?
Menurut saya pribadi, saya bukan orang yang berani. Cuma kami lebih melihat situasi ini butuh reaksi yang lugas. Reaksi yang lugas itu kemudian harus ditampilkan dalam bentuk seperti apa. Karena itu kami juga menghitung konteks, situasinya seperti apa.
Apa Anda mengadakan perubahan dalam diri Anda sendiri sebelum menjadi koordinator Badan Pekerja Kontras?
Sebenarnya perubahan dalam diri saya hanya sedikit. Dulu saya bukan campaigner (juru kampanye), tetapi orang lapangan. Waktu di lapangan dan tidak pernah tampil di media massa itu pun, saya pernah diancam Kodam untuk dijadikan sosis. Tetapi pada waktu itu saya sudah hitung. Waktu saya dipindah ke Jakarta, saya berpikir pekerjaan seperti apa yang bisa dilakukan di Jakarta. Lalu muncullah tampilan campaigner.
Di Kontras ini situasinya harus dihadapi dengan lugas, meskipun dengan konsekuensi tertentu. Saya sendiri justru meyakini benar bahwa dengan bersikap lugas, orang sulit melakukan sesuatu dengan kita.
Lebih mudahnya, formulasi lugas itu apa?
Pertama, penyampaian informasi sangat terbuka. Dalam kasus orang hilang itu telanjang betul siapa yang diculik, siapa yang menculik.
Kedua, dalam menyikapi semua reaksi negara, kami juga lugas saja dan tidak berusaha menafsirkan terlalu sulit. Prinsip kami, sebagai satu bentuk mempersoalkan kekerasan, masyarakat yang paling bawah pun harus mengerti mengenai persoalan itu, bukan hanya negara yang harus diberi penjelasan.
Ketiga, Kontras memilih pola lugas yang bersifat artikulatif. Artinya, ketika banyak orang tidak mampu untuk bersuara karena langit ketakutan begitu besar, Kontras kemudian mengartikulasikan ketakutan mereka dengan pernyataan yang lebih bersifat terbuka. Itu mengakibatkan mereka menyambung hubungan empati dengan kami.
Sejauh ini bagaimana tingkat ancaman yang Anda atau anggota Kontras lain hadapi? Dan bagaimana menyikapinya?
Yang gampang tadi malam (Senin, 28/12). Saya sedang bertemu mahasiswa di rumah, kaca rumah saya diketapel orang hingga pecah. Pertemuan langsung bubar. Tetapi itu risiko biasa, karena teror itu bisa muncul dalam berbagai hal, dan itu tergantung penafsiran kita itu teror atau bukan. Kalau saya yakin benar, kita bisa menafsirkan itu bukan sebagai teror. Misalnya kalau rumah dilempar orang itu belum tentu bermaksud teror, tetapi mungkin karena suara di pertemuan
itu terlalu keras.
Tetapi ketika kita beranggapan terlalu berlebihan terhadap reaksi negara dan karena itu kita menafsirkan teror, maka itu adalah teror. Walau demikian, bentuk yang jelas-jelas teror juga ada, misalnya motor tiba-tiba dipepet orang, dicaci-maki. Orang menelepon dan mengancam akan membom juga ada. Tetapi sepanjang orang masih meneror dalam bentuk begitu, artinya mereka tidak akan melakukan.
Sejauh ini bagaimana sikap istri Anda?
Setahu saya, istri saya lebih berani dibanding saya. Dia lebih berani dan lebih siap. Lebih berani, dalam artian dia yang paling sering menafsirkan sesuatu secara ringan. Dia biasa mensimplifikasi satu persoalan yang seolah-olah berat, sehingga kalau ngobrol sama dia menjadi ringan, ditafsirkan dengan gampang.
Istri saya 'kan tidak berpendidikan tinggi, pendidikannya biasa. Dia representasi masyarakat umum yang menafsirkan Kontras. Maka kalau saya membuat statement, pasti saya tanya dia dulu. Kalau begini gimana? Cara dia menafsirkan itu gambaran apakah masyarakat umum menangkap tidak maksudnya, atau masyarakat umum menganggap itu kurang berani, tidak tegas atau apa.
Dengan kepopuleran Anda, pasti banyak godaan ekonomi yang Anda hadapi?
Godaan ekonomi itu saya melihatnya ada simpati masyarakat yang melihatnya secara tidak tepat. Misalnya orang melihat saya ini kok tidak pantas menggunakan sepeda motor. Sebetulnya kalau saya terima juga bisa, tanpa konsesi apa-apa. Tetapi justru lebih banyak orang yang menunggu untuk memaki-maki, kalau saya menerima itu. Saya sadar benar tentang itu. Setiap perubahan diri kita akan diamati orang sangat besar. Jadi, sensitif, meskipun banyak orang yang bersimpati, ada yang menawari rumah gratis, ada dealer mobil yang menawari mobilnya dengan harga yang terserah saya menentukan, seribu rupiah
pun tidak apa-apa asal ada syarat jual beli.
Saya tidak mau menerima, karena itu nanti menjadikan bias terhadap saya dan tim. Saya merasa harus menjaga moralitas tim. Kalau moralitas timnya kacau, disorientasi menguber yang begitu-begituan, hancur organisasi ini. Termasuk penghargaan-penghargaan ini, sama mewahnya dengan hal yang bersifat materiil itu. Makanya, saya lebih senang kalau yang dihadiahi itu Kontras daripada saya sendiri.
OBSESI Anda sendiri apa setelah misalnya 11 anggota Kopassus ini diadili?
Sebenarnya obsesi jangka panjang adalah ada satu proses di mana bukan saja kasus kekerasan, tetapi semua kasus kekerasan, dipertanggungjawabkan secara politik. Itu ruangannya 'kan ruang perubahan politik. Cuma sayangnya, perubahan politik kita ini belum secara otomatis membuka ruang untuk mempertanggungjawabkan semua kesalahan dan kejahatan kemarin.
Kedua, kita juga belum punya ruang untuk merehabilitasi para korban. Misalnya orang yang di tahun 1965 keluarganya terkena bantai, sampai sekarang keluarganya masih ketakutan, rehabilitasi psikologis tidak ada. Keluarga korban Priok saja berapa orang yang telepon ke sini, janjian mau datang tetapi enggak jadi karena takut, ada teror, dan sebagainya. Tidak ada proses rehabilitasi situasi sama sekali.
Pertanggungjawaban politik itu untuk kurun waktu berapa lama?
Kalau menurut saya sampai 32 tahun Soeharto berkuasa. Waktu Orde Baru mulai naik itu 'kan ada satu proses politik pembantaian, yang itu harus dilihat sebagai sesuatu yang riil. Siapa yang bermain dan memicu konflik horisontal di bawah sampai bantai-membantai antarkelompok masyarakat, juga harus dilihat sebagai problem, bukan sekadar membangun emosi pertikaian zaman itu.
Bagaimana Anda melihat tanggapan pemerintah terhadap pernyataan yang Anda lontarkan atau pernyataan Kontras?
Reaksi pemerintah terhadap kasus penculikan ini hanya sebatas populisme pemerintah yang sedang menghadapi krisis kepercayaan. Artinya, bukan bergerak dari satu kesadaran bahwa kasus semacam ini tidak boleh diulang, dan bahwa ini satu kesalahan sangat mendasar. Kalaupun itu diakui mendasar dan merupakan kesalahan, itupun hanya bagian dari populisme. Akibatnya karena reaksinya bersifat populis, mereka tidak akan mengorbankan terlalu banyak pada diri sendiri.
Apakah Anda menilai pemerintah sudah sampai pada tingkatan tidak peduli lagi dengan tanggapan masyarakat?
Ada kesan mereka beranggapan masyarakat itu bisa dimanipulir pemahamannya, untuk menerima sedikit pasrah terhadap sikap mereka. Mereka tahu kalau masyarakat juga tahu, tetapi mereka mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa masyarakat tidak tahu. Yang kedua, mereka sadar betul bahwa masyarakat protes terhadap mereka, tetapi mereka juga tidak mau semakin malu.
Ada kesan bahwa kalau ini diungkap, kejujuran ini justru menimbulkan rasa malu yang besar, menurunkan kredibilitas di depan masyarakat. Kira-kira ini yang ingin dijaga.
Ketiga yang saya tahu persis, ada kekhawatiran menular. Kalau ini dibuka secara jujur, kemudian yang lain latah ingin dibuka semua. Ini memang yang sudah sejak awal ditakutkan aparat. Dalam pertemuan informal mereka kerap ngomong, wah kalau begini bisa semua jenderal masuk penjara dong. Ada kekhawatiran begitu yang sebetulnya terlalu berlebihan.
Kalau melihat banyak kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Indonesia yang belum tuntas, jalan keluar seperti apa yang ada dalam pemikiran Anda?
Basis umumnya dulu. Kita yakin benar bahwa semua kasus pelanggaran HAM mulai dari Semanggi, Aceh, Priok bahkan 1965, tidak akan tuntas sepanjang belum dipenuhinya syarat politik bernegara. Ini urusannya bukan memecahkan kasus per kasus, tetapi bagaimana negara ini mampu menyelesaikan dan memperlakukan proses pertanggungjawaban terhadap proses kekerasan politik yang selama ini sudah berlangsung. Kita harus membuat komitmen bersama agar itu tidak lagi terjadi.
Sebuah bangsa itu perlu pemberhentian, sebuah halte, untukduduk bersama, nongkrong. Sekarang kita itu belum sampai di tempat pemberhentian itu. Perubahan yang Mei kemarin itu belum menjadi jeda untuk orang duduk bersama melihat itu. Ada konfigurasi konflik elite, persaingan di dalam, keinginan dominatif, dan macam-macam yang mengakibatkan keinginan untuk duduk bersama, melihat permasalahan kemarin, menjadi lemah.
Satu-satunya cara agar orang duduk bersama adalah ketika ada kesadaran untuk mempertanggungjawabkan kesalahan yang kemarin, dan membangun kembali proses perbaikan. Itu ruangnya adalah akomodasi politik, baik melalui misi Gus Dur, atau lainnya. Itu ide tawaran penting, karena kalau orang duduk bersama dan menyadari ini salah, akan jauh lebih baik ketimbang dimaki-maki baru mengakui ini kesalahan. Saya tidak begitu optimis, sampai Juni (pemilu) akan bisa beres.
Mungkin nanti pemerintahan pasca Pemilu dengan kemauan yang cukup besar dan dukungan masyarakat. Bisa saja mereka menduplikasi langkah yang dilakukan di
Afrika Selatan dengan Komisi Kebenaran atau model Korea Selatan. Langkah-langkah itu bisa, karena ukuran keberhasilan pemerintah reformasi pasca pemilu adalah mampu menyelesaikan persoalan ke belakang, bukan saja mengatasi kondisi ekonomi. Persoalan luka politik ini harus diberesi. Oleh karena itu orang tidak perlu terlalu risau kasus mana yang dibuka dan kasus mana yang tidak dibuka, karena itu harus disadari bahwa semua kasus akan bermuara pada titik yang sama.
Maka untuk melihat kembali kesalahan yang kemarin, tidak sajapara elite politik di atas yang harus duduk bersama, tetapi juga para korban juga perlu duduk bersama.
Ketika orang di Aceh curiga sama agama tertentu, orang Timtim curiga dengan agama tertentu, Kupang terhadap agama tertentu, itu 'kan belum sampai di titik kita memenuhi prasyarat suatu masyarakat yang bisa duduk bersama melihat ini kesalahan, dan kita menjadi korban bersama. Prasyarat solidaritas horisontal itu belum terjadi.*
"Pada waktu itu bayangan kami malah Soeharto tidak turun-turun dan kami dilibas."
"Menurut saya pribadi, saya bukan orang yang berani ... istri saya lebih berani dibanding saya."
"... motor tiba-tiba dipepet orang, dicaci-maki, Orang menelepondan mengancam akan membom juga ada."